Selasa, 21 Januari 2014

Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE)



Film ini menceritakan dan menyuarakan keberadaan Suku Malind di Kampung Zanegi, Distrik Animha, Kabupaten Merauke yang kehilangan hak dan akses memanfaatkan kekayaan alam serta hasil hutan seluas 169.000 hektar. Dari dulu mereka hidup dari sagu, daging, kelapa. Namun, kehidupan mereka kini terancam. Semua berubah, perusahaan hutan tanaman industri (HTI) PT. Selaras Inti Semesta milik Medco Grup membabat hutan mereka. Saat ini,  masyarakat Malind memiliki kawasan hutan seluas sekitar 1,2 juta hektar terancam. Mereka tertekan kebijakan pembangunan nasional bernama MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Mega proyek kerjasama pemerintah dengan pengusaha ini akan merusak dan menghilangkan kawasan hutan dengan ekosistem penting di selatan Papua serta menyingkirkan orang Malind dari sumber kehidupannya.
            Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) adalah sebuah mega-proyek. Lebih dari sejuta hektar direncanakan menjadi perkebunan atau lahan pertanian bersifat industri, yang menjadi ancaman bagi rakyat maupun lingkungan hidup di Papua selatan. Perusahaan Indonesia maupun asing sudah mengklaim lahannya masing-masing. Orang Malind, penduduk asli hutan itu, ditawarkan ganti rugi yang sangat sedikit untuk menggantikan hutan yang merupakan sumber kehidupan bagi mereka dan leluhur mereka selama banyak abad. Tempat dimana proyek MIFEE akan dilaksanakan di Papua masih merupakan daerah konflik. Selama puluhan tahun rakyat Papua sudah berjuang untuk kebebasan serta hak untuk menentukan nasib mereka sendiri. Sekarang Papua juga merupakan sasaran berikutnya dari industri perkebunan Indonesia, setelah hutan Sumatera dan Kalimantan sudah dihancurkan oleh industri kertas dan kelapa sawit. Walaupun di Papua sudah ada beberapa perkebunan beroperasi, MIFEE adalah skala yang jauh lebih luas. MIFEE adalah semacam pintu masuk untuk industri kebun di Papua yang akan merugikan masyarakat seluruh Tanah Papua.
            Susah membayangkan betapa terpencilnya desa-desa di hutan Merauke. Tak satu pun area di Indonesia ini yang jaraknya lebih jauh dari Jakarta – sekitar 3700 kilometer jika ditarik seperti garis lurus. Hutan sepanjang 662 km dan gunung tinggi menjulang lah yang memisahkan Merauke dari ibukota Papua, Jayapura, yang sekaligus menjadi pusat dari banyak gerakan sosial Papua Barat. Kebanyakan desanya tidak dapat dijangkau dengan jalan darat, serta tidak terdapat listrik ataupun jaringan telekomunikasi. Masyarakat setempat yang kebanyakan diidentifikasi dalam kelompok sub etnis Malind, biasanya memenuhi kebutuhannya dari hasil hutan, padang rumput dan rawa-rawa yang ada di sekitar desa. Ketika berbagai kepentingan politik lokal dan nasional bertemu dan menghasilkan keputusan untuk menyiapkan area tersebut untuk dikembangkan secara intensif sebagai pusat produksi makanan dan energi yang baru, itu artinya masyarakat Malind menghadapi ancaman keberlangsungan budaya mereka. Sejak program MIFEE secara resmi diperkenalkan tiga tahun lalu, banyak perusahaan yang kemudian mencari ijin perkebunan dan berusaha menguasai tanah ulayat masyarakat Malind.
            Karena wilayahnya yang sangat terpencil dan ada banyak perusahaan dan desa terdampak, efek yang dirasakan orang-orang Malind dapat terus terjadi tanpa diketahui oleh orang-orang di luar. Karena itulah, untuk membangun solidaritas dengan masyarakat Malind, yang sedang menghadapi konflik atas ruang hidupnya, adalah dengan memastikan bahwa keterpencilan area masyarakat Malind tidak memudahkan perusahaan-perusahaan masuk dengan paksaan atau mengabaikan hak masyarakat, serta membuat suara-suara masyarakat Malind didengarkan dunia.
            Beberapa perusahaan yang pertama datang telah banyak melakukan kecurangan. Semisal yang terjadi di desa Zanegi pada tahun 2009. Medco memberikan 300 juta rupiah pada warga desa dan ‘selembar piagam penghargaan.’ Dari situ warga membacanya sebagai langkah yang baik. Warga tidak menyadari bahwa surat yang mereka tandatangani akan menghapus hak mereka atas tanah, serta menyetujui untuk diberikan ganti rugi atas kayu sebesar 2500 rupiah per meter kubik. Harga yang sangat kecil jika dibandingkan dengan yang mereka peroleh ketika menjual batang kayu ke pedagang kayu secara perorangan. Meski seluruh desa akan kalah jika hutan dibabat, biasanya perusahaan hanya berusaha untuk meyakinkan para ketua komunitasnya (baik kepala kampung maupun kepala adat dan ketua marga) untuk menandatangani pembebasan lahan. Para pemimpin komunitas ini telah diterbangkan oleh perusahaan untuk mengunjungi perkebunan-perkebunan lain, salah satu contohnya ialah Wilmar, yang pernah membawa beberapa tokoh masyarakat hingga ke Sumatra.
            Perusahaan juga telah membuat janji untuk membangun berbagai fasilitas desa, dan jarang yang terlaksana. Biasanya, daftar yang dijanjikan terdiri dari pembangunan sekolah, rumah sakit, gereja, perumahan, jalan, listrik dan fasilitas olah raga. Namun, ketika kesepakatan sudah ditandatangani, fasilitas baru urung terwujud. Atau hanya satu gereja yang dibangun. Ketika perusahaan lain akan membuat kesepakatan, masyarakat lain telah mendengar apa yang terjadi di Zanegi dan menjadi lebih waspada. Beberapa desa kemudian memutuskan untuk meminta kompensasi yang mereka anggap layak atas lahan mereka, berdasar kebutuhan masyarakatnya selama 35 tahun umur hidup perkebunan. Contohnya pada bulan Mei 2012, empat desa menyatakan bahwa mereka hanya akan memberi ijin PT Dongin Prabhawa, anak perusahaan dari Korindo, untuk beroperasi jika perusahaan memberi uang sebesar 100 juta rupiah. Dengan demikian, suatu perusahaan perkebunan tidak sanggup membayarnya. Permintaan atas kompensasi yang tinggi ini bisa dibaca sebagai strategi masyarakat untuk menolak rencana perkebunan, namun strategi dari komunitas yang sudah tidak percaya bahwa masih ada kesempatan untuk sama sekali menolak untuk menjual tanah mereka serta mencegah perusahaan untuk masuk. Saat ini, beberapa kampung atau marga sudah sepakat untuk melepaskan tanahnya kepada PT Dongin Prabawa namun masih ada marga lain yang menolak.
            Sejak perusahaan mulai masuk, masyarakat setempat mulai belajar tentang kemiskinan. Sepanjang sejarah, hutan sudah ada sejak dulu, dengan sagu berlimpah yang menjadi sumber makanan dan binatang hutan yang mudah diburu. Dengan menjual hasil hutan seperti gambir dan damar, warga bisa mendapat uang untuk membeli keperluan lain. Ketika hutan hilang, makanan menjadi sulit dicari, ironisnya hal ini terjadi sebagai akibat dari suatu proyek yang direncanakan untuk menjamin keamanan pangan, dan masyarakat pun menjadi ketergantungan pada ekonomi uang. Kemiskinan terutama terlihat jelas di desa Zanegi. Ketika hutan hilang, makanan pun sulit dicari. Ketika diwawancarai untuk film “Mama Malind Su Hilang,” Moses Kaize mengatakan bahwa sebelum Medco masuk, pemburu bisa mendapatkan binatang buruan dalam waktu satu jam. Kini, untuk berburu rusa perlu waktu sehari atau dua hari. Bahkan untuk mencari sagu, warga harus melakukan perjalanan dan bermalam di tenda sementara, karena hutan sagunya dihancurkan oleh perusahaan yang pernah berjanji untuk menjaga hutan tersebut. Desa sering sepi karena banyak yang pergi. Mereka yang bekerja untuk perusahaan tidak memiliki jaminan. Mereka bekerja sebagai buruh harian lepas dan dengan gaji yang hanya cukup untuk makan satu keluarga, tidak lebih.
            Anak-anak banyak yang dilaporkan menderita akibat gizi buruk, dan kondisi ini telah meningkatkan tajam sejak perusahaan mulai masuk. Di semester pertama tahun 2013, lima anak kecil meninggal karena gizi buruk atau infeksi saluran pernapasan di desa Zanegi. Baru saja ini ada laporan bahwa Medco sudah mulai bertanggungjawab atas bencana yang diakibatkannya di desa Zanegi dan Boepe. Perusahaan tersebut sudah mulai memberi bantuan pada para guru dan memberikan jaminan kesehatan, serta memberikan dukungan ekonomi dengan menyediakan lahan serta benih dan pupuk bagi orang yang ingin menumbuhkan sayur yang bisa mereka jual ke perusahaan. Proses pemiskinan sudah mulai meski hutan belum ditebang. Dengan dibangunnya infrastruktur untuk mendukung MIFEE dan pejabat perusahaan, para tentara pengawal dan transmigran mulai berpindah memasuki tanah orang-orang Malind, mereka juga mengonsumsi hasil hutan seperti daging dan ikan. Kondisi ini menyebabkan warga setempat lebih kesulitan untuk mencukupi kebutuhan mereka dari hutan, dan lebih menekan warga untuk lebih terlibat dalam ekonomi uang, yang berujung pada penjualan tanah mereka pada perusahaan.
            Perkembangan perkebunan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang meluas yang secara langsung juga mempengaruhi masyarakatnya. Di Kampung Zanegi, pestisida dari bibit-bibit pohon milik Medco mencemari rawa dan menyebabkan sakit pernapasan yang mempengaruhi kematian bayi dan penyakit kulit Selain itu, masyarakat yang berada di hulu sungai Bian dan Kumb juga mengalami gejala serupa, barangkali diakibatkan oleh perkebunan kelapa sawit dan area transmigrasi yang berada di hilir sungai. Ikan besar dan buaya sekalipun sudah ada yang dilaporkan mati di Sungai Bian, yang berada dekat dengan perkebunan Korindo dan Daewoo, dan juga sungai Kumb dan Digul. Warga yang berada di area di hulu sungai Bian mengatakan bahwa mereka tak lagi dapat menggunakan airnya untuk keperluan minum, memasak dan mandi. Mereka harus berjalan sepanjang beberapa kilometer untuk mendapat air bersih.
            Hutan-hutan di lembah sekitar konsesi PT Bio Inti Agrindo juga telah dibakar untuk perkebunan sawit. Praktik ilegal ini juga menyebar di seluruh Indonesia dan sudah banyak diketahui telah menyebabkan kabut yang setiap tahun muncul di Sumatra, Malaysia dan Singapura. Sementara akibat lokalnya berupa polusi air dan udara, binatang buas pun banyak yang terbunuh oleh panas api. Di dekat pantai, tak jauh dari perkebunan tebu Rajawali, sungai-sungai kecil yang berada dekat Kampung Onggari dan Kampung Kaibuze menjadi kering karena irigasi dialirkan untuk keperluan perkebunan dan perkembangan pertanian di wilayah transmigrasi. Banyak yang mengatakan bahwa burung-burung juga sudah tak lagi nampak di sekitar area MIFEE, suara mereka sudah tak terdengar lagi seperti dulu.
            Pengaruh utama dari MIFEE juga berupa konflik antar desa, antar marga dan antar individu. Dalam masyarakat Malind, orang-orang sudah tahu, lahan wilayah mana yang menjadi hak siapa. Pada masyarakat yang tidak memiliki peta ini, sistem geografi tak tertulis telah dikembangkan sepanjang sejarahnya, dalam sistem kepercayaannya dan dalam ingatan kolektif mereka. Ketika para pengusaha mulai memasuki area, mereka juga membawa peta lokasi perkebunan yang diberikan oleh kantor pemerintah Merauke, GPS dan peralatan lain yang digunakan untuk menandai posisi mereka serta sejumlah uang yang banyak yang akan mereka berikan pada pemimpin marga apapun yang mempunyai hak atas tanah. Konflik muncul ketika pengukuran yang dilakukan dengan peralatan yang bisa mengukur seksama menggali perselisihan lama. Contohnya ialah ketika satu desa atau marga diketahui sebagai pemilik lahan menurut hukum adat, namun desa atau marga lain telah memiliki ijin untuk menggunakan lahan tersebut, meski mereka tidak memiliki hak kepemilikan.
            Ketika Medco membangun penggilingan kayu di Kampung Boepe, warga dari Kampung Sanggase menyalahkan perusahaan yang telah memberikan kompensasi pada orang yang salah, karena sebenarnya lahan milik Sanggase, dan orang dari Boepe hanya menggunakan lahan. Konflik panjang  terjadi antara Medco dan warga dari kedua desa, Medco pun mengakhirinya dengan membayar warga Sanggase. Konflik yang lain muncul di sekitar area Rajawali, dimana para warga dari Domande yang telah membebaskan lahan mereka pada perusahaan kemudian terlibat dalam konflik dengan warga yang berasal dari Kampung Onggari yang menolak untuk membebaskan lahan mereka. Di Kampung Selil, dua marga dari dua suku berbeda saling memperebutkan lahan yang sudah direncanakan PT. Bio Inti Agrindo untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Setelah perang antar suku yang terjadi dahulu kala, resolusinya berupa penamaan lahan sebagai ‘lahan pinjaman’, dimana peminjam tidak memiliki hak untuk menjual. Biasanya, hal ini tidak menjadi masalah, namun sejak perusahaan datang untuk mengolah tanah, kedua kelompok tersebut meminta kompensasi. Konflik yang berpotensi meledak menjadi kekerasan ini masih tinggi. Konflik seperti itu dimulai dengan kecurigaan dan ketidakpercayaan, yang menambah stres karena tekanan perubahan yang dipaksakan oleh perusahaan, dan berpotensi memecah serta memperlemah para oposisi untuk melakukan perlawanan. Konflik juga bisa sampai kekerasan. Yang membuat kondisi ini lebih buruk ialah kepercayaan orang setempat terhadap suanggi atau ilmu hitam, yang dipercaya sebagai penyebab dari segala macam kematian. Jika ada seseorang yang meninggal di suatu desa, warga akan mempertanyakan siapa yang menjadi dalang atas kematiannya.
            Kisah tragis lagi-lagi datang dari desa Zanegi. Seorang warga desa yang juga bekerja di perkebunan milik Medco telah dituduh menggunakan suanggi untuk membunuh manusia. Para pemimpin desa kemudian berkumpul untuk melakukan pertemuan adat dan memutuskan bahwa ia harus dibunuh untuk menghindari banyak kematian lainnya. Polisi menemukan dan menangkap lima belas orang, tujuh diantaranya kemudian dihukum penjara. Benar atau tidaknya tindakan warga tersebut, penangkapan tersebut hanya memperkeruh persoalan yang dihadapi masyarakat pada umumnya. Mereka yang tertangkap kebanyakan telah mengkritik Medco dan perusahaan lain secara blak-blakan. Desa pun menjadi lebih tergantung pada Medco dan uang kompensasi yang diberikan untuk membantu para tahanan. Pada masa ini, pemalangan panjang yang pernah menghadang praktik penebangan yang dilakukan Medco kehilangan momentumnya. Sementara perusahaan pun tetap melakukan penebangan hutan seperti sebelumnya.

1 komentar: