Film ini menceritakan dan
menyuarakan keberadaan Suku Malind di Kampung Zanegi, Distrik Animha, Kabupaten
Merauke yang kehilangan hak dan akses memanfaatkan kekayaan alam serta hasil
hutan seluas 169.000 hektar. Dari dulu mereka hidup dari sagu, daging, kelapa.
Namun, kehidupan mereka kini terancam. Semua berubah, perusahaan hutan tanaman
industri (HTI) PT. Selaras Inti Semesta milik Medco Grup membabat hutan mereka.
Saat ini, masyarakat Malind memiliki kawasan hutan seluas sekitar 1,2
juta hektar terancam. Mereka tertekan kebijakan pembangunan nasional bernama
MIFEE (Merauke
Integrated Food and Energy Estate). Mega proyek kerjasama
pemerintah dengan pengusaha ini akan merusak dan menghilangkan kawasan hutan
dengan ekosistem penting di selatan Papua serta menyingkirkan orang Malind dari
sumber kehidupannya.
Merauke
Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) adalah sebuah mega-proyek. Lebih dari
sejuta hektar direncanakan menjadi perkebunan atau lahan pertanian bersifat
industri, yang menjadi ancaman bagi rakyat maupun lingkungan hidup di Papua
selatan. Perusahaan Indonesia maupun asing sudah mengklaim lahannya
masing-masing. Orang Malind, penduduk asli hutan itu, ditawarkan ganti rugi
yang sangat sedikit untuk menggantikan hutan yang merupakan sumber kehidupan
bagi mereka dan leluhur mereka selama banyak abad. Tempat dimana proyek MIFEE
akan dilaksanakan di Papua masih merupakan daerah konflik. Selama puluhan tahun
rakyat Papua sudah berjuang untuk kebebasan serta hak untuk menentukan nasib
mereka sendiri. Sekarang Papua juga merupakan sasaran berikutnya dari industri
perkebunan Indonesia, setelah hutan Sumatera dan Kalimantan sudah dihancurkan
oleh industri kertas dan kelapa sawit. Walaupun di Papua sudah ada beberapa
perkebunan beroperasi, MIFEE adalah skala yang jauh lebih luas. MIFEE adalah
semacam pintu masuk untuk industri kebun di Papua yang akan merugikan
masyarakat seluruh Tanah Papua.
Susah
membayangkan betapa terpencilnya desa-desa di hutan Merauke. Tak satu pun area
di Indonesia ini yang jaraknya lebih jauh dari Jakarta – sekitar 3700 kilometer
jika ditarik seperti garis lurus. Hutan sepanjang 662 km dan gunung tinggi
menjulang lah yang memisahkan Merauke dari ibukota Papua, Jayapura, yang
sekaligus menjadi pusat dari banyak gerakan sosial Papua Barat. Kebanyakan
desanya tidak dapat dijangkau dengan jalan darat, serta tidak terdapat listrik ataupun
jaringan telekomunikasi. Masyarakat setempat yang kebanyakan diidentifikasi
dalam kelompok sub etnis Malind, biasanya memenuhi kebutuhannya dari hasil
hutan, padang rumput dan rawa-rawa yang ada di sekitar desa. Ketika berbagai
kepentingan politik lokal dan nasional bertemu dan menghasilkan keputusan untuk
menyiapkan area tersebut untuk dikembangkan secara intensif sebagai pusat
produksi makanan dan energi yang baru, itu artinya masyarakat Malind menghadapi
ancaman keberlangsungan budaya mereka. Sejak program MIFEE secara resmi
diperkenalkan tiga tahun lalu, banyak perusahaan yang kemudian mencari ijin
perkebunan dan berusaha menguasai tanah ulayat masyarakat Malind.
Karena
wilayahnya yang sangat terpencil dan ada banyak perusahaan dan desa terdampak,
efek yang dirasakan orang-orang Malind dapat terus terjadi tanpa diketahui oleh
orang-orang di luar. Karena itulah, untuk membangun solidaritas dengan
masyarakat Malind, yang sedang menghadapi konflik atas ruang hidupnya, adalah
dengan memastikan bahwa keterpencilan area masyarakat Malind tidak memudahkan
perusahaan-perusahaan masuk dengan paksaan atau mengabaikan hak masyarakat,
serta membuat suara-suara masyarakat Malind didengarkan dunia.
Beberapa
perusahaan yang pertama datang telah banyak melakukan kecurangan. Semisal yang
terjadi di desa Zanegi pada tahun 2009. Medco memberikan 300 juta rupiah pada
warga desa dan ‘selembar piagam penghargaan.’ Dari situ warga membacanya
sebagai langkah yang baik. Warga tidak menyadari bahwa surat yang mereka tandatangani
akan menghapus hak mereka atas tanah, serta menyetujui untuk diberikan ganti
rugi atas kayu sebesar 2500 rupiah per meter kubik. Harga yang sangat kecil
jika dibandingkan dengan yang mereka peroleh ketika menjual batang kayu ke
pedagang kayu secara perorangan. Meski seluruh desa akan kalah jika hutan
dibabat, biasanya perusahaan hanya berusaha untuk meyakinkan para ketua
komunitasnya (baik kepala kampung maupun kepala adat dan ketua marga) untuk
menandatangani pembebasan lahan. Para pemimpin komunitas ini telah diterbangkan
oleh perusahaan untuk mengunjungi perkebunan-perkebunan lain, salah satu
contohnya ialah Wilmar, yang
pernah membawa beberapa tokoh masyarakat hingga ke Sumatra.
Perusahaan
juga telah membuat janji untuk membangun berbagai fasilitas desa, dan jarang
yang terlaksana. Biasanya, daftar yang dijanjikan terdiri dari pembangunan
sekolah, rumah sakit, gereja, perumahan, jalan, listrik dan fasilitas olah
raga. Namun, ketika kesepakatan sudah ditandatangani, fasilitas baru urung
terwujud. Atau hanya
satu gereja yang dibangun. Ketika perusahaan lain akan membuat kesepakatan,
masyarakat lain telah mendengar apa yang terjadi di Zanegi dan menjadi lebih
waspada. Beberapa desa kemudian memutuskan untuk meminta kompensasi yang mereka
anggap layak atas lahan mereka, berdasar kebutuhan masyarakatnya selama 35
tahun umur hidup perkebunan. Contohnya pada bulan Mei 2012, empat desa menyatakan bahwa
mereka hanya akan memberi ijin PT Dongin Prabhawa, anak perusahaan dari
Korindo, untuk beroperasi jika perusahaan memberi uang sebesar 100 juta rupiah.
Dengan demikian, suatu perusahaan perkebunan tidak sanggup membayarnya.
Permintaan atas kompensasi yang tinggi ini bisa dibaca sebagai strategi
masyarakat untuk menolak rencana perkebunan, namun strategi dari komunitas yang
sudah tidak percaya bahwa masih ada kesempatan untuk sama sekali menolak untuk
menjual tanah mereka serta mencegah perusahaan untuk masuk. Saat ini, beberapa
kampung atau marga sudah sepakat untuk melepaskan tanahnya kepada PT Dongin
Prabawa namun masih ada marga lain yang menolak.
Sejak
perusahaan mulai masuk, masyarakat setempat mulai belajar tentang kemiskinan.
Sepanjang sejarah, hutan sudah ada sejak dulu, dengan sagu berlimpah yang
menjadi sumber makanan dan binatang hutan yang mudah diburu. Dengan menjual
hasil hutan seperti gambir dan damar, warga bisa mendapat uang untuk membeli
keperluan lain. Ketika hutan hilang, makanan menjadi sulit dicari, ironisnya
hal ini terjadi sebagai akibat dari suatu proyek yang direncanakan untuk
menjamin keamanan pangan, dan masyarakat pun menjadi ketergantungan pada
ekonomi uang. Kemiskinan terutama terlihat jelas di desa Zanegi. Ketika hutan
hilang, makanan pun sulit dicari. Ketika diwawancarai untuk film “Mama Malind Su Hilang,”
Moses Kaize mengatakan bahwa sebelum Medco masuk, pemburu bisa mendapatkan
binatang buruan dalam waktu satu jam. Kini, untuk berburu rusa perlu waktu
sehari atau dua hari. Bahkan untuk mencari sagu, warga harus melakukan perjalanan dan
bermalam di tenda sementara, karena hutan sagunya dihancurkan oleh
perusahaan yang pernah berjanji untuk menjaga hutan tersebut. Desa sering sepi
karena banyak yang pergi. Mereka yang bekerja untuk perusahaan tidak memiliki
jaminan. Mereka bekerja sebagai buruh harian lepas dan dengan gaji yang hanya
cukup untuk makan satu keluarga, tidak lebih.
Anak-anak
banyak yang dilaporkan menderita akibat gizi buruk, dan kondisi ini telah
meningkatkan tajam sejak perusahaan mulai masuk. Di semester pertama tahun
2013, lima anak kecil
meninggal karena gizi buruk atau infeksi saluran pernapasan di desa Zanegi.
Baru saja ini ada laporan bahwa Medco sudah mulai bertanggungjawab atas bencana
yang diakibatkannya di desa Zanegi dan Boepe. Perusahaan tersebut sudah mulai
memberi bantuan pada para guru dan memberikan jaminan kesehatan, serta
memberikan dukungan ekonomi dengan menyediakan lahan serta benih dan pupuk bagi
orang yang ingin menumbuhkan sayur yang bisa mereka jual ke perusahaan. Proses
pemiskinan sudah mulai meski hutan belum ditebang. Dengan dibangunnya
infrastruktur untuk mendukung MIFEE dan pejabat perusahaan, para tentara
pengawal dan transmigran mulai berpindah memasuki tanah orang-orang Malind,
mereka juga mengonsumsi hasil hutan seperti daging dan ikan. Kondisi ini
menyebabkan warga setempat lebih kesulitan untuk mencukupi kebutuhan mereka
dari hutan, dan lebih menekan warga untuk lebih terlibat dalam ekonomi uang,
yang berujung pada penjualan tanah mereka pada perusahaan.
Perkembangan
perkebunan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang meluas yang secara langsung
juga mempengaruhi masyarakatnya. Di Kampung Zanegi, pestisida dari
bibit-bibit pohon milik Medco mencemari rawa dan menyebabkan sakit pernapasan
yang mempengaruhi kematian bayi dan penyakit kulit Selain itu, masyarakat yang
berada di hulu sungai Bian dan Kumb juga mengalami gejala serupa, barangkali
diakibatkan oleh perkebunan kelapa sawit dan area transmigrasi yang berada di
hilir sungai. Ikan besar dan buaya sekalipun sudah ada yang dilaporkan mati di
Sungai Bian, yang berada dekat dengan perkebunan Korindo dan Daewoo, dan juga
sungai Kumb dan Digul. Warga yang berada di area di hulu sungai Bian mengatakan bahwa
mereka tak lagi dapat menggunakan airnya untuk keperluan minum, memasak dan
mandi. Mereka harus berjalan sepanjang beberapa kilometer untuk mendapat air
bersih.
Hutan-hutan
di lembah sekitar konsesi PT Bio Inti Agrindo juga telah dibakar untuk
perkebunan sawit. Praktik ilegal ini juga menyebar di seluruh Indonesia dan
sudah banyak diketahui telah menyebabkan kabut yang setiap tahun muncul di
Sumatra, Malaysia dan Singapura. Sementara akibat lokalnya berupa polusi air
dan udara, binatang buas pun banyak yang terbunuh oleh panas api. Di dekat
pantai, tak jauh dari perkebunan tebu Rajawali, sungai-sungai kecil yang berada
dekat Kampung Onggari dan Kampung Kaibuze menjadi kering karena irigasi
dialirkan untuk keperluan perkebunan dan perkembangan pertanian di wilayah
transmigrasi. Banyak yang mengatakan bahwa burung-burung juga sudah tak lagi
nampak di sekitar area MIFEE, suara mereka sudah tak terdengar lagi seperti
dulu.
Pengaruh
utama dari MIFEE juga berupa konflik antar desa, antar marga dan antar
individu. Dalam masyarakat Malind, orang-orang sudah tahu, lahan wilayah mana
yang menjadi hak siapa. Pada masyarakat yang tidak memiliki peta ini, sistem
geografi tak tertulis telah dikembangkan sepanjang sejarahnya, dalam sistem
kepercayaannya dan dalam ingatan kolektif mereka. Ketika para pengusaha mulai
memasuki area, mereka juga membawa peta lokasi perkebunan yang diberikan oleh
kantor pemerintah Merauke, GPS dan peralatan lain yang digunakan untuk menandai
posisi mereka serta sejumlah uang yang banyak yang akan mereka berikan pada
pemimpin marga apapun yang mempunyai hak atas tanah. Konflik muncul ketika pengukuran
yang dilakukan dengan peralatan yang bisa mengukur seksama menggali
perselisihan lama. Contohnya ialah ketika satu desa atau marga diketahui
sebagai pemilik lahan menurut hukum adat, namun desa atau marga lain telah
memiliki ijin untuk menggunakan lahan tersebut, meski mereka tidak memiliki hak
kepemilikan.
Ketika
Medco membangun penggilingan kayu di Kampung Boepe, warga dari Kampung Sanggase
menyalahkan perusahaan yang telah memberikan kompensasi pada orang yang salah,
karena sebenarnya lahan milik Sanggase, dan orang dari Boepe hanya menggunakan
lahan. Konflik panjang
terjadi antara Medco dan warga dari kedua desa, Medco pun mengakhirinya dengan
membayar warga Sanggase. Konflik yang lain muncul di sekitar area Rajawali,
dimana para warga dari Domande yang telah membebaskan lahan mereka pada
perusahaan kemudian terlibat dalam konflik dengan warga yang berasal dari
Kampung Onggari yang menolak untuk membebaskan lahan mereka. Di Kampung Selil,
dua marga dari dua suku berbeda saling memperebutkan lahan yang sudah
direncanakan PT. Bio Inti Agrindo untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Setelah perang antar suku yang terjadi dahulu kala, resolusinya berupa penamaan
lahan sebagai ‘lahan pinjaman’, dimana peminjam tidak memiliki hak untuk
menjual. Biasanya, hal ini tidak menjadi masalah, namun sejak perusahaan datang
untuk mengolah tanah, kedua kelompok tersebut meminta kompensasi. Konflik yang
berpotensi meledak menjadi kekerasan ini masih tinggi. Konflik seperti itu
dimulai dengan kecurigaan dan ketidakpercayaan, yang menambah stres karena
tekanan perubahan yang dipaksakan oleh perusahaan, dan berpotensi memecah serta
memperlemah para oposisi untuk melakukan perlawanan. Konflik juga bisa sampai
kekerasan. Yang membuat kondisi ini lebih buruk ialah kepercayaan orang
setempat terhadap suanggi
atau ilmu hitam, yang dipercaya sebagai penyebab dari segala macam kematian.
Jika ada seseorang yang meninggal di suatu desa, warga akan mempertanyakan siapa
yang menjadi dalang atas kematiannya.
Kisah
tragis lagi-lagi datang dari desa Zanegi. Seorang warga desa yang juga bekerja
di perkebunan milik Medco telah dituduh menggunakan suanggi untuk membunuh
manusia. Para pemimpin desa kemudian berkumpul untuk melakukan pertemuan adat
dan memutuskan bahwa ia harus dibunuh untuk menghindari banyak kematian
lainnya. Polisi menemukan dan menangkap lima belas orang, tujuh diantaranya
kemudian dihukum penjara. Benar atau tidaknya tindakan warga tersebut, penangkapan
tersebut hanya memperkeruh persoalan yang dihadapi masyarakat pada umumnya.
Mereka yang tertangkap kebanyakan telah mengkritik Medco dan perusahaan lain
secara blak-blakan. Desa pun menjadi lebih tergantung pada Medco dan uang
kompensasi yang diberikan untuk membantu para tahanan. Pada masa ini,
pemalangan panjang yang pernah menghadang praktik penebangan yang dilakukan
Medco kehilangan momentumnya. Sementara perusahaan pun tetap melakukan
penebangan hutan seperti sebelumnya.
kalu boleh tau erapa gaji buru di pulau mam
BalasHapus